Selasa, 07 Januari 2014

Foto Wisuda UNS






Artikel Sintren



DEKONSTRUKSI MAKNA SIMBOLIK KESENIAN SINTREN
(STUDI KASUS PADA PAGUYUBAN SINTREN SLAMET RAHAYU DUSUN SIRAU, KELURAHAN PADURAKSA, KECAMATAN PEMALANG, KABUPATEN PEMALANG

Puji Dwi Darmoko, Bani Sudardi, Slamet Subiyantoro
Magister Kajian Budaya Program PASCASARJANA UNS

pujimoko@ymail.com

Abstrak

Latar Belakang : Paper ini merupakan hasil kajian yang berjudul ”Dekonstruksi Makna Simbolik Kesenian sintren (Studi Kasus Pada Paguyuban Sintren Slamet Rahayu Dusun Sirau, Kelurahan Paduraksa, Kecamatan Pemalang, Kabupten Pemalang). Tujuan Penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan pemaknaan ulang atas Kesenian  Sintren dalam konteks kekinian.
Metode : Penelitian ini dilakukan dalam ranah ilmu Kajian Budaya dengan menggunakan metode analisis data kualitatif dan teknik analisis data secara deskriptif dan interpretatif dengan menggunakan pendekatan dan teori Dekonstruksi Derrida. Dalam kajian ini makna simbolik pertunjukan Kesenian sintren merupakan objek material dari sebuah kajian mengenai dekonstruksi makna simbolik.
Hasil : ada tiga temuan dalam penelitian ini. Pertama, dekonstruksi makna simbolik Kesenian sintren yang terjadi disebabkan oleh kematian metafisika didorong dua aspek, yakni: (1) opini dan apresiasi masyarakat terhadap kesenian sintren; dan (2) Kesenian sintren di tengah arus kesenian modern. Kedua, proses yang terjadi dalam dekonstruksi makna simbolik kesenian sintren dapat dipahami melalui dua proses, yaitu: (1) dari romantisme dan gaya hidup menjadi kesenian rakyat; dan (2) sintren dari kesenian rakyat menjadi kesenian modern. Ketiga, dekonstruksi makna simbolik Kesenian sintren memiliki implikasi terhadap kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat Kabupaten Pemalang.

Kata kunci: dekonstruksi, makna simbol, kesenian sintren




PENDAHULUAN

Kesenian sintren merupakan ke-senian yang banyak berkembang di kalangan masyarakat bawah oleh karena itu sering disebut seni Folklor. Sebagai seni folklor keberadaan sintren menimbulkan berbagai praduga tentang asal usul dan perkembangannya.
Kesenian sintren adalah kesenian yang memiliki keunikan, karena mengandung unsur magis di dalam pertunjukannya (Heru-satoto 2008). Sintren adalah seni pertunjukkan rakyat  Jawa-Sunda; seni tari yang bersifat mistis, memiliki ritus magis tradisional tertentu yang mencengangkan. Karena unsur mistis inilah  sebagian masyarakat beranggapan, bahwa kesenian tradisional (masa lampau) menjadi penghalang untuk kemajuan budaya modern. Namun hal ini dibantah oleh Jaini (2007) yang menyatakan bahwa kebudayaan tradisional justru terkait langsung dan menunjang proses ekonomi dan ekologis masyarkat secara mendasar.
Kesenian sintren diawali dari cerita rakyat/legenda yang dipercaya oleh masyarakat dan memiliki dua versi sebagai berikut. Pertama, berdasar pada legenda cerita percintaan Sulasih dan  R. Sulandono seorang putra Bupati di Mataram bernama Joko Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari. Kedua, Sintren dilatar-belakangi kisah percintaan Ki Joko Bahu (Bahurekso) dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung Raja Mataram.
Kesenian sintren sebagai produk kebudayaan sudah barang tentu mem-punyai simbol-simbol yang meng-andung  makna pesan-pesan dan nasehat bagi generasi berikutnya. Namun  pesan dan nasehat yang tersembunyi di balik simbol-simbol tersebut tidak akan memiliki makna, apabila simbol-simbol tersebut tidak dipahami atau dimengerti. Makna simbolik dalam pertunjukan seni Sintren tidak hanya ditandai dengan bagaimana pertunjukan seni sintren tersebut dipentaskan. Makna simbolik pertunjukan sintren harus tetap dicari sesuai dengan ruang dan waktu si pemakna.
Dengan kata lain,  makna simbolis yang melingkupi pertunjukan kesenian sintren tidak akan pernah berhenti atau akan terus mengalami dekonstruksi. Karena kesenian sintren sebagai hasil budaya bukan harga mati dan benda mati. Budaya adalah sesuatu yang dipelajari dan tak semata-mata yang dilakukan orang. Konteks semacam ini menyiratkan bahwa hasil budaya adalah sebuah refleksi pemikiran, tak sekedar buah hal-hal mekanik belaka.
Penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan pemaknaan ulang atas kesenian  sintren dalam konteks kekinian. Dalam kajian ini makna simbolik pertunjukan kesenian sintren merupakan objek material dari sebuah kajian mengenai dekonstruksi makna simbolik yang memfokuskan pada tiga masalah; yaitu (1) sebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik kesenian sintren, (2) proses terjadinya dekonstruksi makna simbolik kesenian sintren, dan (3) Implikasi dekonstruksi tersebut terhadap kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat Pemalang.
Secara umum, penelitian ini bertujuan  mendeskripsikan konstruksi dan dekonstruksi budaya Jawa yang berakar pada kesenian sintren. Sehingga diharapkan nantinya mampu  menemukan dan menjelaskan rekonsruksi  budaya tersebut dalam rangka memahami dan memposisikan kesenian sintren secara proporsional sebagai bagian kerja keilmuan dalam upaya mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Secara khusus, penelitian ini mempunyai tiga tujuan: (1) untuk mengetahui dan memahami kejelasan sebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik kesenian sintren; (2) untuk mengetahui dan memahami kejelasan proses terjadinya dekonstruksi makna simbolik kesenian sintren; dan (3) untuk mengetahui dan memahami kejelasan implikasi dekonstruksi tersebut terhadap kehidupan sosial ekonomi dan budaya   masyarakat Pemalang.



METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian bidang ilmu Kajian Budaya atau cultural studies dengan menggunakan motode atau pendekatan  kualitatif dan teknik analisis data secara  deskriptif  kualitatif interpretatif.
Sebagaimana paradigma kajian budaya yang berada di wilayah postmodernisme, peneli-tian ini diposisikan dalam sistem berfikir kritis. Oleh karena itu, teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori dekonstruksi yang memiliki fungsi yaitu; (1) sebagai alat memperjelas suatu fenomena yang muncul pada tahapan penelusuran masalah;  (2) sebagai alat peringkas atau alat seleksi data pada tahapan pengumpulan data; (3) dan sebagai alat untuk mempertajam kajian pada tahapan analisis.
Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Sirau, Kelurahan Paduraksa, Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang, Propinsi Jawa Tengah, didasarkan pada beberapa pertimbangan, salah satunya masih eksisnya paguyuban seni sintren di wilayah tersebut.    Penelitian       ini dilaksanakan dalam rentang waktu bulan Nopember sampai Desember 2012. Jenis data yang digunakan adalah data tentang makna simbolik pada pertunjukan kesenian sintren. Kajian terhadap makna simbolik kesenian sintren memberikan peluang berkembangnya kreativitas dalam menafsirkan teks yang diamati secara berulang-ulang hingga diperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang makna simbolik. Oleh karena itu, pengumpulan data tentang perspektif makna simbolik lebih mengutamakan penggunaan teknik observasi dan wawancara, di samping studi dokumen dan studi kepustakaan. 
Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif dan interpretatif, yaitu analisis yang memfokuskan pada penunjukkan makna, deskripsi, penjernihan dan penempatan data pada konteksnya masing-masing (Faisal 2005). Berkaitan dengan penelitian kualitatif Bungin (2010) menyatakan bahwa penelitian yang menggunakan analisis kualitatif didefinisikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata dan/atau ungkapan-ungkapan, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan yang dapat diamati dengan menekankan pada pengembangan konsep dan pemahaman pola yang ada pada data; memperhatikan setting dan orang secara holistik sehingga bukan sebagai variabel-variabel terpisah; cenderung bersifat humanistik; pemahaman makna yang menjadi dasar tindakan partisipan; memahami; keadaan dalam lingkup yang terbatas; dan lebih merupakan seni kerajinan dengan mengutamakan kemahiran dan keikutsertaan perasaan.
Penelitian ini menggunakan    Teori Dekonstruksi Derrida yang diposisikan baik sebagai teori maupun pendekatan untuk menjawab ketiga rumusan masalah penelitian.
Dekonstruksi sebagai pe-maknaan lebih lanjut terhadap simbol-simbol haruslah dipandang sebagai suatu proses yang tidak pernah berhenti sehingga makna yang hadir selalu bersifat “menjadi” dan terfragmentasi oleh ruang dan waktu si pemakna. Walaupun sejarah telah berupaya menyusun periodeisasi aktivitas manusia beribu-ribu tahun yang lalu, tetapi sebagaimana pan-dangan totalitas terhadap kehi-dupan bahwa pada dasarnya dalam sejarah manusia tidak pernah terdapat keterpisahan secara mutlak antara pemikiran, tindakan, ruang dan waktu sebagai sebuah momen. Demikian juga tidak pernah mudah ditemukan keterpisahan mutlak antara pemikiran dan hasil-hasilnya dalam ruang-ruang kehidupan yang tidak terikat pada waktu secara kontekstual, sebagaimana manusia tidak pernah terpisah dari kebudayaan dan kehidupan sosialnya (Pitana, 2010). Dekonstruksi bukanlah semata-mata pembalikan strategi, melainkan sebagai aktivitas pembacaan, teks harus dibaca dengan cara yang sama sekali baru (Ratna, 2007).

PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian kajian budaya yang membongkar makna simbolik kesenian sintren dalam paradigma kajian budaya yang berada pada posisi postmodernisme, dan  masuk dalam sistem berfikir kritis postmodernisme. Oleh karena itu teori yang digunakan adalah teori yang berkaitan dengan sekitar gagasan psotmodernisme yaitu teori Dekonstruksi.
Dekonstruksi makna simbolik kesenian sintren bukan sesuatu yang terjadi begitu saja, melainkan suatu wujud penolakan atas logosentrisme yang telah dibangun berdasarkan metafisika sintren itu sendiri. Dalam hal ini juga dapat dikatakan bahwa dekonstruksi yang terjadi atas makna simbolik kesenian sintren merupakan kejadian yang disebabkan oleh kematian metafisika kesenian sintren. Kematian atas metafisika kesenian sintren yang merupakan puncak dari adanya penolakan atau pengingkaran metafisika itu didorong oleh dua aspek, yakni (1) opini dan apresiasi masyarakat terhadap kesenian sintren, mulai dari yang menerima, mendukung sampai yang menolak eksistensi kesenian sintren. (2) aspek kesenian sintren di tengah arus kesenian modern, yaitu adanya tekanan modernisasi, industrialisasi, per- dagangan bebas, dan perang wacana dalam pem-bangunan identitas budaya masyarakat dalam masa kekinian merupakan salah satu sebab terjadinya pemaknaan ulang terhadap kesenian sintren sebagai korban kapitalisme dan alat komodifikasi kepariwisataan, hingga Sintren tidak memiliki ruang tersisa untuk dapat mengartikulasikan dirinya sendiri.
Secara umum aspek pertama yaitu tentang opini dan apresiasi masyarakat terhadap kesenian sintren dapat diuraikan sebagai berikut. Beberapa opini yang berkembang dalam masyara-kat terhadap kesenian sintren, dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori mewakili berbagai lapisan masyarakat. Pertama, kelompok  yang berpendapat bahwa sintren merupakan bentuk pertunjukan seni yang penuh nuansa mistis dan magis yang tidak sesuai dengan nalar keagamaan. Baik tata cara pertunjukan kesenian sintren maupun syair-syair tembang serta upacara ritualnya mencerminkan kehidupan mistik (klenik) yang jauh dari tatanan moral agama. Misalnya penggunaan kemenyan dan berbagai jenis bunga mengingatkan ritus-ritus mistis masyarakat nenek moyang yang mempercayai kekuatan roh-roh halus. Kedua, kelompok masyara-kat yang berpendapat bahwa kesenian sintren perlu dipertahan-kan eksistensinya sebagaimana kesenian berlatar etnik lainnya. Kelompok ini terwakili oleh para pemerhati seni etnik (tradisional) dan kelompok birokrat yang bertanggung jawab atas pe-lestarian nilai-nilai tradisional sebagai sokoguru kebudayaan nasional. Dan para pekerja seni sintren yang tergabung dalam berbagai paguyuban kesenian sintren yang berperan sebagai ujung tombak dalam mem-pertahankan kesenian sintren berpendapat bahwa kesenian sintren merupakan salah satu peninggalan (warisan) kebudayaan nenek moyang yang perlu dilestarikan sebagai kebanggaan budaya berciri khas Pemalang.  Lebih jauh bila perlu ketika orang menyebut sintren maka akan merujuk pada nama Kabupaten Pemalang sebagai sentra kesenian sintren tanpa harus menyebutkan dari mana asal mula kesenian tersebut. Ketiga, kelompok masya-rakat yang tidak ambil pusing tentang bagaimana keadaan kesenian sintren dan bagaimana masa depan dari kesenian sintren tersebut. Mereka berpendapat bahwa eksistensi sintren akan  diuji oleh seleksi  alam sebagai-mana yang terjadi pada jenis kesenian lainnya. Jika kesenian sintren lulus dari ujian ini, maka tidak menutup kemungkinan sintren akan tetap eksis di antara jenis kesenian lain. Sebaliknya, jika sintren tak kuasa menahan terpaan badai perubahan zaman, maka kepergian kesenian sintren dari lembaran khasanah budaya tradisional nusantara tidak perlu dirisaukan.
Sementara itu, apresiasi masyarakat terhadap kesenian sintren tidak seluruhnya didasar-kan pada logika penalaran obyektif. Sudut pandang apresiasi masyarakat lebih banyak didasar-kan pada seberapa besar kadar perhatiannya terhadap kesenian sintren secara sempit, sehingga fenomena yang muncul adalah pencerminan logika umum yang tidak mewakili seluruh sikap masyarakat terhadap kesenian sintren. Misalnya dari sudut pandang pemain, apakah memang harus dilakukan oleh seoang gadis yang masih suci ? bagaimana ukuran kesucian seorang gadis pada masa kini di tengah derasnya arus informasi dan komunikasi, dari sudut pandang tari, gerak tari sintren terkesan statis, mengulang-ulang performansinya dan sulit mengembangkan format baru gerak tari yang lebih teatrikal. Hal ini lebih disebabkan oleh suatu realita bahwa penari sintren adalah seorang otodidak, yang menurut kepercayaan pelaku seni sintren, gerak tari Sintren dituntun oleh kekuatan tidak tampak (roh halus) yang mengindangi (merasuki) ke dalam diri penari Sintren yang memang dihadirkan oleh pawang sintren  sebagai pimpinan per-tunjukkan seni sintren.
Sementara pada aspek kedua, yaitu bagaimana eksistensi kesenian sintren di tengah arus modernnisasi dapat diuraikan sebagai berikut. Kesenian sintren yang lahir dan berkembang di tengah kelompok masyarakat marginal (pinggiran) atau masyarakat kelas bawah berbeda dengan kesenian tradisional lain yang elitis dan terpelihara secara sistematis dengan melibatkan aparatur dan perangkat rapi serta terdidik seperti misalnya kesenian wayang kulit, Sintren berada pada posisi sebaliknya. nuansa mistis dan magis dalam kesenian sintren menyebabkan kesenian ini kurang diminati kelompok muda dengan strata pendidikan menengah ke atas.  Ada rasa enggan pada kelompok pendidikan ini untuk turut ambil bagian dalam penanganan dan pengembangan kesenian sintren bahkan dalam batas yang paling sederhana sekalipun. Partisipasi sebagian besar masyarakat terhadap sintren baru sebatas penonton pasif. Hanya sebagian kecil masyarakat yang peduli kesenian sintren dengan mengundang untuk tampil pada acara-acara pribadi seperti acara perkawinan atau khitanan. Masyarakat masih segan meng-undang kelompok kesenian sintren sebagai media hiburan untuk tamu-tamunya. Berbeda dengan kesenian wayang kulit, orkes melayu, organ tunggal yang sering diundang masyarakat dalam acara hajatan bersifat pribadi meskipun imbalan yang harus dikeluarkan pihak peng-undang relatih besar dibanding jika mengundang kelompok kesenian sintren. Pada umumnya kesenian sintren cenderung berpentas di desa-desa. Masyarakat perkotaan yang heterogen dengan banyak ragam pilihan hiburan hampir tak terpikirkan untuk menjadikan kesenian sintren sebagai salah satu alternatif hiburan yang memuaskan. Sebagian masyarakat perkotaan berasumsi bahwa sintren lebih cocok untuk masyarakat pedesaan yang pola pikirnya masih sejalan dengan sesuatu yang berbau mistis-magis.
Kesan pertama yang muncul setelah menyaksikan pertunjukan kesenian sintren adalah bahwa kesenin itu menampilkn sesuatu yang monoton. Format  tampilan yang telah dipentas-kan pada malam pertama akan diulang lagi pada malam kedua, ketiga dan seterusnya. Secara esensial tidak ada hal-hal baru yang muncul pada setiap pementasan sintren, semua sudah terpola dan kesan seperti itu tidak dapat dihindarkan.
Pada titik inilah, terminologi the others harus tetap diposisikan sebagai entitas yang diakui keberadaannya dan memiliki hak yang sama untuk hidup dan berkembang, termasuk kesenian sintren dan masyarakat pen-dukungnya dalam membangun identitas budayanya. Realitas-realitas di atas menunjukkan bahwa modernisasi, industrialisasi, per-dagangan bebas, dan perang wacana dalam pembangunan identitas budaya masyarakat dalam masa kekinian merupakan salah satu sebab terjadinya pemaknaan ulang terhadap kesenian sintren. Dengan kata lain telah terjadi dekonstruksi makna simbolik kesenian sintren di tengah arus modernisasi.
Dekonstruksi merupakan sebuah tindakan subjek yang membongkar sebuah objek yang tersusun dari berbagai unsur. Tetapi bukan hanya pembongkar-an terhadap objek (teks), melainkan sekaligus menghasil-kan konstruksi baru dari suatu objek. Hal ini sejalan dengan pendapat Barker (2009). yang menyatakan bahwa teks bukan tatanan makna yang utuh melainkan arena pergulatan yang terbuka. Dalam hal ini dekonstruksi  memandang realitas sebagai sesuatu yang bersifat organik dan decentering. Organik yang dimaksud di sini adalah pemikiran yang meman-dang segala jaringan saling berhubungan. Derrida telah membuat suatu penegasan bahwa sekecil apapun unsur  jaringan yang ada dipandang sebagai entitas. Sementara itu, decentering adalah struktur tanpa pusat dan tanpa hirarkhi (Ratna, 2004. Derrida, dalam Grenz, 2001).
Kerja dekonstruksi dilaku-kan dengan memahami dan mengkaji sesuatu yang semula dianggap kurang penting misalnya, makna simbolik  dalam kesenian sintren sebagai suatu kegiatan yang bertentangan dengan agama. Dalam kaitan inilah dekonstruksi menge-depankan konsep detotali-tas, yaitu pemikiran yang memandang segala sesuatu secara keseluruhan yang berdampingan, berada bersama, saling bekerja sama tanpa peleburan atau meleburkan diri, kecuali hanya membaur (Pitana, 2010). Melalui dekonstruksi Derrida yang membaca dan menafsirkan  ulang seluruh puncak pemikiran filosofis Barat, diharapkan melahirkan teks-teks baru (Lubis, 2004). Sehingga dengan cara mendekonstruksi (membongkar)  teks dan penafsiran lama melahirkan satu teks dan penafsiran baru yang hampir berbeda secara total dengan teks lama, karena ia merupakan metode membaca (hermeneutika teks) secara kritis dan radikal (Lubis, 2004).
Kesenian sintren sebagai produk budaya mempunyai metafisikanya sendiri sebagai (1) romantisme yang muncul ketika kekuasaan Mataram sepeninggal Sultan Agung tidak lagi hadir di wilayah pesisir dan digantikan oleh elite birokrat yang menjadi kepan-jangan pemerintahan kolonial Belanda yang hanya suka menarik upeti dan membebankan kerja wajib ter-hadap kawulanya. Rakyat tidak lagi mempunyai figur penguasa yang mampu “mengayomi kawulanya” sebagai-mana penguasa Mataram berkuasa, dan (2) metafor dari hobi dan gaya hidup akibat pengaruh modernisasi pada masa pemerintahan kolonial dengan gaya apa adanya. Dalam keadaan di mana modernitas dari Barat menjadi gaya hidup, maka rakyat mengadopsi beberapa elemen budaya yang berasal dari Barat dalam kesenian komunitas-nya. Kenyataan ini menunjukkan telah terjadi dekonstruksi makna simbolik kesenian sintren dari sebuah romantisme dan gaya hidup menjadi sebuah kesenian rakyat.
Transformasi kekuasaan dari Mataram ke pemerintah kolonial Belanda terutama pada masa pemerintahan Raffles (1811-1816) ternyata membawa perubahan sosial kebudayaan masyarakat pesisir dalam semua aspek kehidupannya. Dalam kehidupan sosial masyarakat muncul golongan baru yaitu elite kolonial yang berkedudukan lebih tinggi dibanding penduduk pribumi, dan rakyat tetap menempati kedudukan sebagai wong cilik yang tetap mejadi kawula penguasa baru tanah pesisir. Meskipun  demikian kehidupan masyarakat pesisir pada masa pemerintahan kolonial ternyata  sedikit lebih memiliki kebebasan dibanding saat Mataram berkuasa. Karena itu besar kemungkinan bahwa kesenian rakyat Sintren muncul pada zaman ketika pemerintah kolonial mengambil alih kekuasaan di pesisir pantai utara. Kesenian dapat dikatakan sebagai kesaksian masyarakat atas kekuasaan dan gaya hidup elit kolonial yang dilihat dari perspektif wong cilik.
Dalam kesenian sintren, semua gerakan, atribut, dan lontaran syair-syairnya adalah upaya meniru hobi dan gaya hidup elite kolonial  atau paling tidak sebuah gambaran masyarakat yang ikut menikmati hobi dan gaya hidup elite kolonial dengan gaya seadaanya. Sintren adalah kesaksian dari sebuah kebudayaan kolonial yang pernah berkembang di kalangan elite birokrasi Eropa dan aristokrat pribumi, yaitu kegemaran berpesta dan dansa-dansi mewah di gedung-gedung pertunjukan. Untuk meniru gaya borjuis kolonial, rakyat membuat suatu bentuk kesenian yang merupakan ekspresi imitasi dari sebuah produk kebudayaan elite dan kemudian terciptalah sintren.
Oleh karena itu pada awal  kehadiran kesenian sintren dapat dipastikan bahwa profil kesenian sintren sangat sederhana, baik dilihat dari segi kostum, tampilan maupun perangkat pengiringnya (panjak, niyaga dan instrument musik). Mulai dari tahap awal penyelenggaraan pentas sampai akhir berlangsung tata cara baku dan berkesan statis. Pemeran sintren haruslah seorang gadis suci, didampingi seorang pawang yang bertugas mengatur ritus pertunjukan. Beberapa wanita panjak berperan sebagai penyanyi pengiring dan beberapa penabuh gamelan yang mengatur irama gending agar selaras dengan irama tembang yang dilantunkan para panjak atau sinden. Seperti yang dinyatakan Hadisastro (1998) bahwa gerak tari sintren terkesan spontan namun ritmik dan terpola.
Secara umum kesenian sintren merupakan perpaduan seni gerak (tari), seni suara (tembang), seni musik (gending), dan lawak (bador). Sajian tari dilaksankan oleh sintren mengikuti jenis tembang yang tengah dilantunkan dengan iringan musik tradisional Jawa laras slendro. Gamelan pengiringnya tidak selengkap gamelan pengiring pentas wayang kulit atau campursari. Pada pentas kesenian sintren, gamelan pengiring lengkap hanya terdiri dari satu set gambang, saron, kempul, gendang dan gong. Irama gendingnya sangat sederhana, berdurasi singkat dan tempo yang cepat. Para panjak juga demikian, bermodalkan nada suara tinggi, tak perlu warna suara bagus. Hingga saat ini mereka belum mengenal teknik olah vocal yang baik dan benar. Harmonisasi suara satu, suara dua dan seterusnya belum dipikirkan sehingga pe-nampilannya terkesan statis dan monoton. Hal ini karena sebagian besar para panjak bukanlah profesional yang mengkhususkan diri di bidang seni tarik suara, mereka hanya ibu-ibu rumah tangga yang merasa terpanggil untuk melestarikan kesenian ini dengan bermodalkan kemauan semata.
Meskipun demikian profil sintren sekarang sedikit banyak telah mengalami perubahan khususnya dalam hal lantunan tembang-tembangnya. Maraknya lagu-lagu dangdut dan campursari di tengah masyarakat awam juga telah berpengaruh pada kesenian sintren. Beberapa lagu dangdut dan campursari yang digemari masyarakat dinyanyikan pula oleh panjak dan sinden dalam pementasan kesenian sintren.
Adanya pengaruh lagu-lagu kontemporer dalam pentas kesenin sintren dimungkinkan karena dalam pentas Sintren ada bagian (episode) yang dinamakan “temohan” yaitu bagian dalam pentas di  mana sintren (dibimbing oleh seorang panjak biasanya  seorang pawang) keluar me-ninggalkan arena pertunjukan menuju kerumunan penonton untuk meminta (sekedar) derma/sumbangan. Penonton di-harapkan memberikan sekeping atau selembar uang di atas mangkuk atau cething yang dibawa sintren sebagai imbalan atas pertunjukan sintren yang mereka saksikan. Pelaku kesenian sintren dituntut secara kreatif dan inovatif menghasilkan produk-produk baru berbasis  tradisi (produk seni tradisi yang benar-benar baru, modifikasi, atau peningkatan dari produk yang ada). Sebagaimana dalam dunia entertaiment dikenal hukum law of deminishing return yakni suatu produk makin lama akan makin kurang diminati karena ada perubahan kebutuhan dan selera pasar serta munculnya produk-produk pesaing yang lebih baik. Suatu produk memiliki product life cycle, yakni masa lahir, tumbuh, dewasa, tua, dan mati.
Oleh karena itu menjadi sesuatu yang penting bagi masyarakat pegiat kesenian sintren untuk selalu melakukan inovasi. Karena kesenian sintren itu sendiri dalam sejarah dan kenyataannya memang terus mengalami perubahan. Salah satu aturan dikatakan sukses dalam dunia hiburan adalah melayani kebutuhan dan selera konsumen secara lebih baik dibandingkan pesaing, sehingga dapat diperoleh pelanggan yang loyal. Demikian pula, masyarakat pegiat kesenian sintren  perlu mengetahui dan memahami secara jelas mengenai kebutuhan dan selera konsumennya, mengembangkan produk, menyampai-kan produk, dan memberikan pelayanan sesuai kebutuhan dan selera konsumen. Jika diperlukan dapat dijual produk dan diberikan pelayanan dengan kualitas yang melebihi harapan konsumen.
Apabila kesenian sintren merupa-kan bagian yang tidak terpisahkan dari aset kebudayaan nasional yang bercirikan etnik, maka kesenian sintren adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari upaya pelestarian kebudayaan nasional yang berdiri di atas pilar-pilar kebudayaan daerah dan sekaligus sebagai pemenuhan atas nafsu selera masyarakat terhadap kebutuhan suatu hiburan yang menarik dan memikat sesuai keadaan zaman. Artinya, sakralisasi dan metafisika kesenian sintren yang dilandasi romantisme dan gaya hidup masyarakat telah tergantikan oleh pemenuhan akan kebutuhan hiburan sesuai zamannya. Sehingga ciri mistik pada setiap pertunjukan kesenian sintren tidak lagi menjadi acuan baku yang harus ditaati. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pergeseran pemaknaan terhadap pertunjukan kesenian sintren menjadi pemenuhan selera masyarakat akan sebuah hiburan yang populer merupakan salah satu proses terjadinya dekonstruksi makna simbolik kesenian sintren.
Kematian metafisika kesenian sintren merupakan penyebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik kesenian sintren yang telah dijelaskan dengan uraian jejak dan  proses dekonstruksinya mendatangkan implikasi terhadap kehidupan sosial ekonomi dan budaya pada masyarakat pelaku kesenian sintren dan masyarakat Pemalang. Implikasai tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama,  kehadiran sintren dapat menjadi salah satu solusi di tengah kekeringan berusaha bangkit saat ekonomi kurang memihak rakyat kecil, dengan tidak merugikan pihak lain. Karena dibalik kesederhanaan, keikhlasan, ke-polosan, seorang gadis penari sintren mampu merubah kesunyian menjadi keramaian penuh optimis penduduk suatu desa. Kedua, dengan pementasan kesenian sintren telah memberikan peluang orang berusaha di bidang niaga meskipun baru pada skala kecil seperti berjualan krupuk sambal, tahu aci, mainan anak-anak, pecel, serundeng lumping kerbau dan lain-lain. Hal ini terjadi karena setiap pementansan kesenian sintren akan selalu diikuti dengan hadirnya banyak pedagang sebagaimana yang terdapat pada pasar malam atau pasar tiban..
Smiers (2009  mengungkap-kan bahwa orang cenderung menghargai gagasan bahwa seni menyajikan masa-masa terbaik dalam hidup manusia pada momen-momen harmonis, menye-nangkan, menghibur, ataupun momen-momen yang menawarkan kesempatan unik untuk melakukan refleksi. Pada titik ini seni dipandang dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya, karena melegakan, menghibur, dan men-dukung aktivitas keseharian, me-legitimasi acara, dan membuat romantis kehidupan masyarakat.
Intensitas yang tinggi bagaimana pertunjukan sintren dilaksanakan dan seberapa luas jangkauan wilayah pertunjukan yang dilalui dapat menjadi  alternatif pendapatan di tengah sulitnya keadaan ekonomi untuk bertahan hidup sambil  nguri-uri kebudayaan sendiri. Semua itu dapat dikatakan sebagai bagian dari kecerdasan penduduk desa   untuk mencoba bertahan lewat caranya sendiri.
Dengan demikian Implikasi dekonstruksi makna simbolik kesenian sintren terhadap tatanan kehidupan sosial paguyuban seni sintren dengan mengedepankan dekosntruksi Derrida yang mengemukakan konsep reproduk-tif, yaitu pemikiran yang memandang segala sesuatu realitas sebagai proses penciptaan atau penciptaan kembali secara terus menerus, tanpa final dapat dibuktikan.
Pada konteks inilah  pemikir-an tentang modifikasi pementasan sintren menjadi sesuatu yang tidak mustahil. Para pakar seni tradisional menjadi pihak yang paling kompeten untuk pekerjaan ini. Modifikasi yang dilakukan tentu harus dihindari dari wilayah esensial dalam pertunjukan sintren, melainkan hanya pada bagian pola pertunjukan untuk memberikan sentuhan baru format pertunjukan sintren yang lebih segar dan variatif, sekaligus memberikan citra baru pada kesenian sintren itu sendiri. Karena perubahan kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan keniscyaan dan tidak dapat dielakkan. Masyarakat tidak pernah statis, selalu dinamis berubah dari satu keadaan ke keadaan lainnya yang disebabkan oleh berbagai faktor. Perubahan ini dimaksudkan sebagai wujud tanggapan manusia terhadap tantangan lingkungannya.  Di tengah derasnya tekanan modernitas dan globalisasi,   produk budaya  sebagai budaya adiluhung kreasi anak bangsa dipertahankan eksistensi dan keberlangsungannya, salah satunya adalah kesenian daerah “sintren” yang berkembang di Kabupaten Pemalang.
Dengan demikian dekons-truksi makna simbolik kesenian sintren telah memberikan dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi dan budaya pada masyarakat pegiat kesenian sintren khususnya, dan masyrakat Kabupaten Pemalang umumnya. Melalui dekonstruksi makna simbolik pertunjukan kesenian sintren tidak lagi harus mengacu secara baku kepada pertunjukan kesenian sintren yang tercitrakan selalu berbau  mistik dan magis tetapi mampu keluar dari sekat tersebut sebagai suatu keniscayaan bahwa kesenian sintren. akan mendapat tanggapan positif dari kelompok yang selama ini menunjukan sikap tidak setuju terhadap eksitensi kesenian sintren.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Dekonstruksi Derrida merupakan cara membaca ulang atas sebuah teks (objek) termasuk teks budaya (objek budaya) yaitu pemaknaan lain yang mungkin berbeda sama sekali dengan makna yang telah ada sebelumnya. Dalam konteks ini  kesenian sintren menjadi sebuah objek yang harus dibaca ulang sesuai dengan kebenaran realitas ruang dan waktu si pembaca. Karena dalam gagassan Derrida, realitas dipandang sebagai realitas ciptaan (produksi, konstruksi) atau diciptakan kembali (reproduksi, rekonstruk-si). Realitas adalah suatu konstruksi kenyataan baru sebagai hasil dari konstruksi kenyataan sebelumnya yang didekonstruksi.
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan dapat dikemukakan tiga simpulan. Pertama, dekonstruksi yang terjadi atas makna simbolik Kesenian sintren merupakan kejadian yang disebab-kan oleh kematian metafisika kesenian sintren yang merupakan akumulasi dari adanya penolakan dan/atau pengingkaran metafisika itu sendiri. Kedua, jejak-jejak dekonstruksi makna simbolik kesenian sintren yang terjadi adalah proses dekonstruksi  makna simbolik, yaitu (1) dekonstruksi makna simbolik “bentuk pertunjukan kesenian sintren”; (2) dekonstruksi makna simbolik unsur mistis dan magis. Ketiga, dekonstruksi makna simbolik kesenian sintren memiliki implikasi terhadap kehidupan sosial ekonomi dan budaya, yaitu tetap terjaganya eksistensi kesenian sintren sebagai media hiburan massa yang mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan meningkatnya sumber kehidupan ekonomi bagi anggota paguyuban kesenian  sintren dan masyarakat  di sekitar tempat diadakannya pertunjukan kesenian sintren tersebut.




Saran
Ada dua saran dalam penelitian ini. Pertama, secara keilmuan atau teoritis dalam upaya memecahkan berbagai permasalahan dalam penelitian yang berkaitan dengan pemaknaan simbol kesenian sintren dalam ranah Kajian Budaya, objek pemaknaan tidak cukup hanya dimaknai secara tekstual sebagai objek seni melainkan harus dimaknai secara kontekstual, artinya harus sesuai dengan semangat zamannnya. Sehingga teori Dekonstruksi Derrida merupakan alat analisis yang layak digunakan dan dikembangkan untuk penelitian-penelitian sejenis.
Kedua, dalam menjaga tetap hidup dan berkembangnya kesenian sintren sebagai warisan budaya diperlukan adanya sinergisitas antara pelaku seni, pakar seni dan Pemerintah Daerah dalam menggairahkan suasana berkesenian di daerah secara multi dimensional, agar sintren tidak sekedar menjadi obyek penderita tapi menjadi subyek bahagia. Masyarakat pegiat kesenian sintren sudah saatnya memikirkan untuk bekerja sama, membentuk kolaborasi dengan pihak-pihak lain, misalnya dengan pementasan wayang kulit atau kesenian campursari bahkan mungkin dengaan organ tunggal.

DAFTAR PUSTAKA

Barker, Chris. Cultural Studies. Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Endraswara,Suwardi. 2006. Mistik Kejawen Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spritial Jawa. Yogyakarta: Narasi.

Grenz, Stanley. J. 2001.  A Primer On Postmomobernism. Peng-antar untuk Memahami Postmodernisme. Terj. Wilson Suwanto. Yogyakarta:Yayasan Andi.

Hadisastro, Sugito. 1998. Sintren Batang, kesenian Pinggiran yang Terpinggirkan. MakJuara Pertama Lomba Karya Ilmiah Tingkat Nasional tahun 1998. Tidak dipublikasikan.lah

Herusatoto, Budiono. 2000. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.

______. 2008. Banyumas: sejarah, budaya, bahasa, dan watak. Yogyakarta:LKiS Pelangi Aksara.

Jaini. 2007.  Komunikasi Seni Pertunjukan. Bandung: Etnoteater Publisher.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2004. Setelah Kebenaran dan kepastian dihancurkan. Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi ilmuwan. Bogor: Akademia.







Piliang, Yasraf Amir. 2003.  Hipersemoitika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

Ratna, Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Smiers, Joost. 2009. Arts Under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press.

Susanto, Budi (ed). 2004. Penghibur (an) budaya masa lalu dan masa kini Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.


UNS. Program Pascasarjana. 2011.  Panduan Penulisan Tesis. Surakarta : UNS.
Pitana, T.S. 2010. Dekonstruksi Makna Simbolik Arsitektur Keraton Surakarta. Disertasi. Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.