Rabu, 17 September 2014
Kamis, 14 Agustus 2014
Rabu, 13 Agustus 2014
Kamis, 07 Agustus 2014
Selasa, 07 Januari 2014
Artikel Sintren
DEKONSTRUKSI
MAKNA SIMBOLIK KESENIAN SINTREN
(STUDI
KASUS PADA PAGUYUBAN SINTREN SLAMET RAHAYU DUSUN SIRAU, KELURAHAN PADURAKSA,
KECAMATAN PEMALANG, KABUPATEN PEMALANG
Puji Dwi Darmoko,
Bani Sudardi, Slamet Subiyantoro
Magister Kajian
Budaya Program PASCASARJANA UNS
pujimoko@ymail.com
Abstrak
Latar
Belakang : Paper ini merupakan hasil kajian yang
berjudul ”Dekonstruksi Makna Simbolik Kesenian sintren (Studi Kasus Pada
Paguyuban Sintren Slamet Rahayu Dusun Sirau, Kelurahan Paduraksa, Kecamatan
Pemalang, Kabupten Pemalang). Tujuan Penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan
pemaknaan ulang atas Kesenian Sintren
dalam konteks kekinian.
Metode : Penelitian
ini dilakukan dalam ranah ilmu Kajian Budaya dengan menggunakan metode analisis
data kualitatif dan teknik analisis data secara deskriptif dan interpretatif
dengan menggunakan pendekatan dan teori Dekonstruksi Derrida. Dalam kajian ini makna simbolik pertunjukan Kesenian sintren
merupakan objek material dari sebuah kajian mengenai dekonstruksi makna
simbolik.
Hasil : ada tiga temuan dalam penelitian ini. Pertama, dekonstruksi
makna simbolik Kesenian sintren yang terjadi disebabkan oleh kematian metafisika
didorong dua aspek, yakni: (1) opini dan apresiasi masyarakat terhadap kesenian
sintren; dan (2) Kesenian sintren di tengah arus kesenian modern. Kedua, proses
yang terjadi dalam dekonstruksi makna simbolik kesenian sintren dapat dipahami
melalui dua proses, yaitu: (1) dari romantisme dan gaya hidup menjadi kesenian
rakyat; dan (2) sintren dari kesenian rakyat menjadi kesenian modern. Ketiga,
dekonstruksi makna simbolik Kesenian sintren memiliki implikasi terhadap
kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat Kabupaten Pemalang.
Kata kunci: dekonstruksi, makna simbol, kesenian
sintren
PENDAHULUAN
Kesenian
sintren merupakan ke-senian yang banyak berkembang di kalangan masyarakat bawah
oleh karena itu sering disebut seni Folklor. Sebagai seni folklor
keberadaan sintren menimbulkan berbagai praduga tentang asal usul dan
perkembangannya.
Kesenian sintren adalah kesenian yang memiliki keunikan,
karena mengandung unsur magis di dalam pertunjukannya (Heru-satoto 2008). Sintren adalah seni pertunjukkan
rakyat Jawa-Sunda; seni tari yang
bersifat mistis, memiliki ritus magis tradisional tertentu yang mencengangkan. Karena unsur mistis
inilah sebagian masyarakat beranggapan, bahwa
kesenian tradisional (masa lampau) menjadi penghalang untuk kemajuan budaya
modern. Namun hal ini dibantah oleh Jaini (2007) yang menyatakan bahwa kebudayaan
tradisional justru terkait langsung dan menunjang proses ekonomi dan ekologis
masyarkat secara mendasar.
Kesenian
sintren diawali dari cerita rakyat/legenda yang dipercaya oleh masyarakat dan
memiliki dua versi sebagai berikut. Pertama,
berdasar pada legenda cerita percintaan Sulasih dan R. Sulandono seorang putra Bupati di Mataram bernama
Joko Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari. Kedua, Sintren
dilatar-belakangi kisah percintaan Ki Joko Bahu (Bahurekso) dengan Rantamsari,
yang tidak disetujui oleh Sultan Agung Raja Mataram.
Kesenian sintren sebagai produk
kebudayaan sudah barang tentu mem-punyai simbol-simbol yang meng-andung makna pesan-pesan dan nasehat bagi generasi
berikutnya. Namun pesan dan nasehat yang
tersembunyi di balik simbol-simbol tersebut tidak akan memiliki makna, apabila
simbol-simbol tersebut tidak dipahami atau dimengerti. Makna simbolik dalam pertunjukan
seni Sintren tidak hanya ditandai dengan bagaimana pertunjukan seni sintren
tersebut dipentaskan. Makna simbolik pertunjukan sintren harus tetap dicari
sesuai dengan ruang dan waktu si pemakna.
Dengan kata lain, makna simbolis yang melingkupi pertunjukan kesenian
sintren tidak akan pernah berhenti atau akan terus mengalami dekonstruksi. Karena kesenian sintren
sebagai hasil budaya bukan harga mati dan benda mati. Budaya adalah sesuatu
yang dipelajari dan tak semata-mata yang dilakukan orang. Konteks semacam ini
menyiratkan bahwa hasil budaya adalah sebuah refleksi pemikiran, tak sekedar
buah hal-hal mekanik belaka.
Penelitian ini dimaksudkan untuk
melakukan pemaknaan ulang atas kesenian sintren
dalam konteks kekinian. Dalam kajian ini makna simbolik pertunjukan kesenian sintren
merupakan objek material dari sebuah kajian mengenai dekonstruksi makna
simbolik yang memfokuskan pada tiga masalah; yaitu (1) sebab terjadinya
dekonstruksi makna simbolik kesenian sintren, (2) proses terjadinya
dekonstruksi makna simbolik kesenian sintren, dan (3) Implikasi dekonstruksi
tersebut terhadap kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat Pemalang.
Secara umum, penelitian ini
bertujuan mendeskripsikan konstruksi dan
dekonstruksi budaya Jawa yang berakar pada kesenian sintren. Sehingga
diharapkan nantinya mampu menemukan dan
menjelaskan rekonsruksi budaya tersebut
dalam rangka memahami dan memposisikan kesenian sintren secara proporsional
sebagai bagian kerja keilmuan dalam upaya mencari dan mengembangkan ilmu
pengetahuan. Secara khusus, penelitian ini mempunyai tiga tujuan: (1) untuk
mengetahui dan memahami kejelasan sebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik kesenian
sintren; (2) untuk mengetahui dan memahami kejelasan proses terjadinya
dekonstruksi makna simbolik kesenian sintren; dan (3) untuk mengetahui dan
memahami kejelasan implikasi dekonstruksi tersebut terhadap kehidupan sosial
ekonomi dan budaya masyarakat Pemalang.
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini merupakan penelitian bidang ilmu Kajian Budaya atau cultural studies
dengan menggunakan motode atau pendekatan
kualitatif dan teknik analisis data secara deskriptif
kualitatif interpretatif.
Sebagaimana paradigma kajian budaya yang berada di wilayah postmodernisme,
peneli-tian ini diposisikan dalam sistem berfikir kritis. Oleh karena itu, teori
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori dekonstruksi yang memiliki
fungsi yaitu; (1) sebagai alat memperjelas suatu fenomena yang muncul pada
tahapan penelusuran masalah; (2) sebagai
alat peringkas atau alat seleksi data pada tahapan pengumpulan data; (3) dan
sebagai alat untuk mempertajam kajian pada tahapan analisis.
Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Sirau, Kelurahan Paduraksa,
Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang, Propinsi Jawa Tengah, didasarkan pada
beberapa pertimbangan, salah satunya masih eksisnya paguyuban seni sintren di
wilayah tersebut. Penelitian ini
dilaksanakan dalam rentang waktu bulan Nopember sampai Desember 2012. Jenis
data yang digunakan adalah data tentang makna simbolik pada pertunjukan kesenian
sintren. Kajian terhadap makna simbolik kesenian sintren
memberikan peluang berkembangnya kreativitas dalam menafsirkan teks yang
diamati secara berulang-ulang hingga diperoleh pemahaman yang lebih mendalam
tentang makna simbolik. Oleh karena itu, pengumpulan data tentang perspektif
makna simbolik lebih mengutamakan penggunaan teknik observasi dan wawancara, di
samping studi dokumen dan studi kepustakaan.
Teknik analisis data dalam penelitian ini
adalah analisis deskriptif kualitatif dan interpretatif, yaitu analisis yang
memfokuskan pada penunjukkan makna, deskripsi, penjernihan dan penempatan data
pada konteksnya masing-masing (Faisal 2005). Berkaitan dengan penelitian
kualitatif Bungin (2010) menyatakan bahwa penelitian
yang menggunakan analisis kualitatif didefinisikan sebagai penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata dan/atau ungkapan-ungkapan,
termasuk di dalamnya tindakan-tindakan yang dapat diamati dengan menekankan
pada pengembangan konsep dan pemahaman pola yang ada pada data; memperhatikan setting dan orang
secara holistik sehingga bukan sebagai variabel-variabel terpisah;
cenderung bersifat humanistik; pemahaman makna yang menjadi dasar tindakan
partisipan; memahami; keadaan dalam lingkup yang terbatas; dan lebih merupakan
seni kerajinan dengan mengutamakan kemahiran dan keikutsertaan perasaan.
Penelitian ini menggunakan Teori Dekonstruksi Derrida yang diposisikan baik
sebagai teori maupun pendekatan untuk menjawab ketiga rumusan masalah
penelitian.
Dekonstruksi sebagai pe-maknaan lebih
lanjut terhadap simbol-simbol haruslah dipandang sebagai suatu proses yang
tidak pernah berhenti sehingga makna yang hadir selalu bersifat “menjadi” dan
terfragmentasi oleh ruang dan waktu si pemakna. Walaupun sejarah telah berupaya
menyusun periodeisasi aktivitas manusia beribu-ribu tahun yang lalu, tetapi
sebagaimana pan-dangan totalitas terhadap kehi-dupan bahwa pada dasarnya dalam
sejarah manusia tidak pernah terdapat keterpisahan secara mutlak antara
pemikiran, tindakan, ruang dan waktu sebagai sebuah momen. Demikian juga tidak
pernah mudah ditemukan keterpisahan mutlak antara pemikiran dan hasil-hasilnya
dalam ruang-ruang kehidupan yang tidak terikat pada waktu secara kontekstual,
sebagaimana manusia tidak pernah terpisah dari kebudayaan dan kehidupan
sosialnya (Pitana, 2010). Dekonstruksi bukanlah semata-mata pembalikan
strategi, melainkan sebagai aktivitas pembacaan, teks harus dibaca dengan cara
yang sama sekali baru (Ratna, 2007).
PEMBAHASAN
Penelitian
ini merupakan penelitian kajian budaya yang membongkar makna simbolik kesenian sintren
dalam paradigma kajian budaya yang berada pada posisi postmodernisme, dan masuk dalam sistem berfikir kritis
postmodernisme. Oleh karena itu teori yang digunakan adalah teori yang
berkaitan dengan sekitar gagasan psotmodernisme yaitu teori Dekonstruksi.
Dekonstruksi
makna simbolik kesenian sintren bukan sesuatu yang terjadi begitu saja,
melainkan suatu wujud penolakan atas logosentrisme yang telah dibangun
berdasarkan metafisika sintren itu sendiri. Dalam hal ini juga dapat dikatakan
bahwa dekonstruksi yang terjadi atas makna simbolik kesenian sintren merupakan
kejadian yang disebabkan oleh kematian metafisika kesenian sintren. Kematian
atas metafisika kesenian sintren yang merupakan puncak dari adanya penolakan
atau pengingkaran metafisika itu didorong oleh dua aspek, yakni (1) opini dan
apresiasi masyarakat terhadap kesenian sintren, mulai dari yang menerima,
mendukung sampai yang menolak eksistensi kesenian sintren. (2) aspek kesenian
sintren di tengah arus kesenian modern, yaitu adanya tekanan modernisasi, industrialisasi,
per- dagangan bebas, dan perang wacana dalam pem-bangunan identitas budaya
masyarakat dalam masa kekinian merupakan salah satu sebab terjadinya pemaknaan
ulang terhadap kesenian sintren sebagai korban kapitalisme dan alat
komodifikasi kepariwisataan, hingga Sintren tidak memiliki ruang tersisa untuk
dapat mengartikulasikan dirinya sendiri.
Secara
umum aspek pertama yaitu tentang opini dan apresiasi masyarakat terhadap
kesenian sintren dapat diuraikan sebagai berikut. Beberapa opini yang
berkembang dalam masyara-kat terhadap kesenian sintren, dapat dikelompokkan
menjadi tiga kategori mewakili berbagai lapisan masyarakat. Pertama,
kelompok yang berpendapat bahwa sintren
merupakan bentuk pertunjukan seni yang penuh nuansa mistis dan magis yang tidak
sesuai dengan nalar keagamaan. Baik tata cara pertunjukan kesenian sintren
maupun syair-syair tembang serta upacara ritualnya mencerminkan kehidupan
mistik (klenik) yang jauh dari tatanan moral agama. Misalnya penggunaan kemenyan
dan berbagai jenis bunga mengingatkan ritus-ritus mistis masyarakat nenek
moyang yang mempercayai kekuatan roh-roh halus. Kedua, kelompok masyara-kat
yang berpendapat bahwa kesenian sintren perlu dipertahan-kan eksistensinya
sebagaimana kesenian berlatar etnik lainnya. Kelompok ini terwakili oleh para
pemerhati seni etnik (tradisional) dan kelompok birokrat yang bertanggung jawab
atas pe-lestarian nilai-nilai tradisional sebagai sokoguru kebudayaan
nasional. Dan para pekerja seni sintren yang tergabung dalam berbagai paguyuban
kesenian sintren yang berperan sebagai ujung tombak dalam mem-pertahankan kesenian
sintren berpendapat bahwa kesenian sintren merupakan salah satu peninggalan
(warisan) kebudayaan nenek moyang yang perlu dilestarikan sebagai kebanggaan
budaya berciri khas Pemalang. Lebih jauh
bila perlu ketika orang menyebut sintren maka akan merujuk pada nama Kabupaten
Pemalang sebagai sentra kesenian sintren tanpa harus menyebutkan dari mana asal
mula kesenian tersebut. Ketiga, kelompok masya-rakat yang tidak ambil pusing
tentang bagaimana keadaan kesenian sintren dan bagaimana masa depan dari kesenian
sintren tersebut. Mereka berpendapat bahwa eksistensi sintren akan diuji oleh seleksi alam sebagai-mana yang terjadi pada jenis kesenian
lainnya. Jika kesenian sintren lulus dari ujian ini, maka tidak menutup
kemungkinan sintren akan tetap eksis di antara jenis kesenian lain. Sebaliknya,
jika sintren tak kuasa menahan terpaan badai perubahan zaman, maka kepergian kesenian
sintren dari lembaran khasanah budaya tradisional nusantara tidak perlu
dirisaukan.
Sementara itu, apresiasi masyarakat terhadap
kesenian sintren tidak seluruhnya didasar-kan pada logika penalaran obyektif.
Sudut pandang apresiasi masyarakat lebih banyak didasar-kan pada seberapa besar
kadar perhatiannya terhadap kesenian sintren secara sempit, sehingga fenomena
yang muncul adalah pencerminan logika umum yang tidak mewakili seluruh sikap
masyarakat terhadap kesenian sintren. Misalnya dari sudut pandang pemain,
apakah memang harus dilakukan oleh seoang gadis yang masih suci ? bagaimana
ukuran kesucian seorang gadis pada masa kini di tengah derasnya arus informasi
dan komunikasi, dari sudut pandang tari, gerak tari sintren terkesan statis,
mengulang-ulang performansinya dan sulit mengembangkan format baru gerak tari
yang lebih teatrikal. Hal ini lebih disebabkan oleh suatu realita bahwa penari sintren
adalah seorang otodidak, yang menurut kepercayaan pelaku seni sintren, gerak
tari Sintren dituntun oleh kekuatan tidak tampak (roh halus) yang mengindangi
(merasuki) ke dalam diri penari Sintren yang memang dihadirkan oleh pawang sintren
sebagai pimpinan per-tunjukkan seni
sintren.
Sementara pada aspek kedua, yaitu bagaimana eksistensi kesenian sintren di
tengah arus modernnisasi dapat diuraikan sebagai berikut. Kesenian sintren yang lahir dan berkembang di tengah kelompok masyarakat
marginal (pinggiran) atau masyarakat kelas bawah berbeda dengan kesenian
tradisional lain yang elitis dan terpelihara secara sistematis dengan melibatkan
aparatur dan perangkat rapi serta terdidik seperti misalnya kesenian wayang
kulit, Sintren berada pada posisi sebaliknya. nuansa mistis dan magis dalam kesenian
sintren menyebabkan kesenian ini kurang diminati kelompok muda dengan strata
pendidikan menengah ke atas. Ada rasa
enggan pada kelompok pendidikan ini untuk turut ambil bagian dalam penanganan
dan pengembangan kesenian sintren bahkan dalam batas yang paling sederhana
sekalipun. Partisipasi sebagian besar masyarakat terhadap sintren baru sebatas
penonton pasif. Hanya sebagian kecil masyarakat yang peduli kesenian sintren
dengan mengundang untuk tampil pada acara-acara pribadi seperti acara
perkawinan atau khitanan. Masyarakat masih segan meng-undang kelompok kesenian sintren
sebagai media hiburan untuk tamu-tamunya. Berbeda dengan kesenian wayang kulit,
orkes melayu, organ tunggal yang sering diundang masyarakat dalam acara hajatan
bersifat pribadi meskipun imbalan yang harus dikeluarkan pihak peng-undang
relatih besar dibanding jika mengundang kelompok kesenian sintren. Pada umumnya
kesenian sintren cenderung berpentas di desa-desa. Masyarakat perkotaan yang
heterogen dengan banyak ragam pilihan hiburan hampir tak terpikirkan untuk
menjadikan kesenian sintren sebagai salah satu alternatif hiburan yang
memuaskan. Sebagian masyarakat perkotaan berasumsi bahwa sintren lebih cocok
untuk masyarakat pedesaan yang pola pikirnya masih sejalan dengan sesuatu yang
berbau mistis-magis.
Kesan pertama yang muncul
setelah menyaksikan pertunjukan kesenian sintren adalah bahwa kesenin itu
menampilkn sesuatu yang monoton. Format
tampilan yang telah dipentas-kan pada malam pertama akan diulang lagi
pada malam kedua, ketiga dan seterusnya. Secara esensial tidak ada hal-hal baru
yang muncul pada setiap pementasan sintren, semua sudah terpola dan kesan
seperti itu tidak dapat dihindarkan.
Pada titik inilah,
terminologi the others harus tetap diposisikan sebagai entitas yang
diakui keberadaannya dan memiliki hak yang sama untuk hidup dan berkembang,
termasuk kesenian sintren dan masyarakat pen-dukungnya dalam membangun
identitas budayanya. Realitas-realitas di atas menunjukkan bahwa modernisasi, industrialisasi,
per-dagangan bebas, dan perang wacana dalam pembangunan identitas budaya
masyarakat dalam masa kekinian merupakan salah satu sebab terjadinya pemaknaan
ulang terhadap kesenian sintren. Dengan kata lain telah terjadi dekonstruksi
makna simbolik kesenian sintren di tengah arus modernisasi.
Dekonstruksi merupakan
sebuah tindakan subjek yang membongkar sebuah objek yang tersusun dari berbagai
unsur. Tetapi bukan hanya pembongkar-an terhadap objek (teks), melainkan
sekaligus menghasil-kan konstruksi baru dari suatu objek. Hal ini sejalan
dengan pendapat Barker (2009). yang menyatakan bahwa teks bukan tatanan makna
yang utuh melainkan arena pergulatan yang terbuka. Dalam hal ini dekonstruksi memandang realitas sebagai sesuatu yang
bersifat organik dan decentering. Organik yang dimaksud di sini adalah
pemikiran yang meman-dang segala jaringan saling berhubungan. Derrida telah
membuat suatu penegasan bahwa sekecil apapun unsur jaringan yang ada dipandang sebagai entitas.
Sementara itu, decentering adalah struktur tanpa pusat dan tanpa
hirarkhi (Ratna, 2004. Derrida, dalam Grenz, 2001).
Kerja dekonstruksi dilaku-kan dengan memahami dan
mengkaji sesuatu yang semula dianggap kurang penting misalnya, makna simbolik
dalam kesenian sintren sebagai suatu
kegiatan yang bertentangan dengan agama. Dalam kaitan inilah dekonstruksi menge-depankan
konsep detotali-tas, yaitu pemikiran yang memandang segala sesuatu secara
keseluruhan yang berdampingan, berada bersama, saling bekerja sama tanpa
peleburan atau meleburkan diri, kecuali hanya membaur (Pitana, 2010). Melalui
dekonstruksi Derrida yang membaca dan menafsirkan ulang seluruh puncak pemikiran filosofis
Barat, diharapkan melahirkan teks-teks baru (Lubis, 2004). Sehingga dengan cara
mendekonstruksi (membongkar) teks dan
penafsiran lama melahirkan satu teks dan penafsiran baru yang hampir berbeda
secara total dengan teks lama, karena ia merupakan metode membaca (hermeneutika
teks) secara kritis dan radikal (Lubis, 2004).
Kesenian sintren sebagai produk budaya mempunyai
metafisikanya sendiri sebagai (1) romantisme yang muncul
ketika kekuasaan Mataram sepeninggal Sultan Agung tidak lagi hadir di wilayah
pesisir dan digantikan oleh elite birokrat yang menjadi kepan-jangan
pemerintahan kolonial Belanda yang hanya suka menarik upeti dan
membebankan kerja wajib ter-hadap kawulanya. Rakyat tidak lagi mempunyai figur
penguasa yang mampu “mengayomi kawulanya” sebagai-mana penguasa Mataram
berkuasa, dan (2) metafor dari hobi dan gaya hidup akibat pengaruh modernisasi pada
masa pemerintahan kolonial dengan gaya apa adanya. Dalam keadaan di mana modernitas dari Barat menjadi gaya hidup, maka rakyat
mengadopsi beberapa elemen budaya yang berasal dari Barat dalam kesenian
komunitas-nya. Kenyataan ini menunjukkan telah terjadi dekonstruksi makna
simbolik kesenian sintren dari sebuah romantisme dan gaya hidup menjadi sebuah
kesenian rakyat.
Transformasi kekuasaan dari Mataram ke pemerintah
kolonial Belanda terutama pada masa pemerintahan Raffles (1811-1816) ternyata
membawa perubahan sosial kebudayaan masyarakat pesisir dalam semua aspek
kehidupannya. Dalam kehidupan sosial masyarakat muncul golongan baru yaitu
elite kolonial yang berkedudukan lebih tinggi dibanding penduduk pribumi, dan
rakyat tetap menempati kedudukan sebagai wong cilik yang tetap mejadi kawula
penguasa baru tanah pesisir. Meskipun demikian kehidupan masyarakat pesisir pada
masa pemerintahan kolonial ternyata
sedikit lebih memiliki kebebasan dibanding saat Mataram berkuasa. Karena
itu besar kemungkinan bahwa kesenian rakyat Sintren muncul pada zaman ketika
pemerintah kolonial mengambil alih kekuasaan di pesisir pantai utara. Kesenian dapat
dikatakan sebagai kesaksian masyarakat atas kekuasaan dan gaya hidup elit
kolonial yang dilihat dari perspektif wong cilik.
Dalam kesenian sintren,
semua gerakan, atribut, dan lontaran syair-syairnya adalah upaya meniru hobi
dan gaya hidup elite kolonial atau
paling tidak sebuah gambaran masyarakat yang ikut menikmati hobi dan gaya hidup
elite kolonial dengan gaya seadaanya. Sintren adalah kesaksian dari sebuah
kebudayaan kolonial yang pernah berkembang di kalangan elite birokrasi Eropa
dan aristokrat pribumi, yaitu kegemaran berpesta dan dansa-dansi mewah di
gedung-gedung pertunjukan. Untuk meniru gaya borjuis kolonial, rakyat membuat
suatu bentuk kesenian yang merupakan ekspresi imitasi dari sebuah produk
kebudayaan elite dan kemudian terciptalah sintren.
Oleh karena itu pada
awal kehadiran kesenian sintren dapat
dipastikan bahwa profil kesenian sintren sangat sederhana, baik dilihat dari
segi kostum, tampilan maupun perangkat pengiringnya (panjak, niyaga dan
instrument musik). Mulai dari tahap awal penyelenggaraan pentas sampai akhir
berlangsung tata cara baku dan berkesan statis. Pemeran sintren haruslah
seorang gadis suci, didampingi seorang pawang yang bertugas mengatur ritus
pertunjukan. Beberapa wanita panjak berperan sebagai penyanyi pengiring dan beberapa
penabuh gamelan yang mengatur irama gending agar selaras dengan irama tembang
yang dilantunkan para panjak atau sinden. Seperti yang dinyatakan Hadisastro
(1998) bahwa gerak tari sintren terkesan spontan namun ritmik dan terpola.
Secara umum kesenian sintren merupakan perpaduan seni
gerak (tari), seni suara (tembang), seni musik (gending), dan lawak (bador).
Sajian tari dilaksankan oleh sintren mengikuti jenis tembang yang tengah
dilantunkan dengan iringan musik tradisional Jawa laras slendro. Gamelan
pengiringnya tidak selengkap gamelan pengiring pentas wayang kulit atau
campursari. Pada pentas kesenian sintren, gamelan pengiring lengkap hanya
terdiri dari satu set gambang, saron, kempul, gendang dan gong.
Irama gendingnya sangat sederhana, berdurasi singkat dan tempo yang cepat. Para
panjak juga demikian, bermodalkan nada suara tinggi, tak perlu warna suara
bagus. Hingga saat ini mereka belum mengenal teknik olah vocal yang baik dan
benar. Harmonisasi suara satu, suara dua dan seterusnya belum dipikirkan
sehingga pe-nampilannya terkesan statis dan monoton. Hal ini karena sebagian besar
para panjak bukanlah profesional yang mengkhususkan diri di bidang seni tarik
suara, mereka hanya ibu-ibu rumah tangga yang merasa terpanggil untuk
melestarikan kesenian ini dengan bermodalkan kemauan semata.
Meskipun demikian profil sintren sekarang sedikit banyak
telah mengalami perubahan khususnya dalam hal lantunan tembang-tembangnya. Maraknya
lagu-lagu dangdut dan campursari di tengah masyarakat awam juga telah
berpengaruh pada kesenian sintren. Beberapa lagu dangdut dan campursari yang
digemari masyarakat dinyanyikan pula oleh panjak dan sinden dalam pementasan kesenian
sintren.
Adanya pengaruh lagu-lagu kontemporer dalam pentas
kesenin sintren dimungkinkan karena dalam pentas Sintren ada bagian (episode)
yang dinamakan “temohan” yaitu bagian dalam pentas di mana sintren (dibimbing oleh seorang panjak biasanya seorang pawang) keluar me-ninggalkan arena
pertunjukan menuju kerumunan penonton untuk meminta (sekedar) derma/sumbangan. Penonton
di-harapkan memberikan sekeping atau selembar uang di atas mangkuk atau cething
yang dibawa sintren sebagai imbalan atas pertunjukan sintren yang mereka
saksikan. Pelaku kesenian sintren
dituntut secara kreatif dan inovatif menghasilkan
produk-produk baru berbasis tradisi
(produk seni tradisi yang benar-benar baru, modifikasi, atau peningkatan dari
produk yang ada). Sebagaimana dalam dunia entertaiment dikenal hukum law of deminishing return yakni suatu
produk makin lama akan makin kurang diminati karena ada perubahan kebutuhan dan
selera pasar serta munculnya produk-produk pesaing yang lebih baik. Suatu
produk memiliki product life cycle, yakni masa lahir, tumbuh, dewasa,
tua, dan mati.
Oleh karena itu menjadi sesuatu yang penting bagi masyarakat pegiat kesenian sintren untuk selalu melakukan inovasi. Karena kesenian sintren itu sendiri dalam sejarah dan
kenyataannya memang terus mengalami perubahan. Salah satu aturan dikatakan sukses dalam
dunia hiburan adalah melayani kebutuhan dan selera konsumen secara lebih baik
dibandingkan pesaing, sehingga dapat diperoleh pelanggan yang loyal. Demikian
pula, masyarakat pegiat kesenian sintren
perlu mengetahui dan memahami secara jelas mengenai kebutuhan dan selera
konsumennya, mengembangkan produk, menyampai-kan produk, dan memberikan
pelayanan sesuai kebutuhan dan selera konsumen. Jika diperlukan dapat dijual
produk dan diberikan pelayanan dengan kualitas yang melebihi harapan konsumen.
Apabila kesenian sintren merupa-kan bagian yang tidak
terpisahkan dari aset kebudayaan nasional yang bercirikan etnik, maka kesenian sintren
adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari upaya pelestarian kebudayaan
nasional yang berdiri di atas pilar-pilar kebudayaan daerah dan sekaligus
sebagai pemenuhan atas nafsu selera masyarakat terhadap kebutuhan suatu hiburan
yang menarik dan memikat sesuai keadaan zaman. Artinya, sakralisasi dan
metafisika kesenian sintren yang dilandasi romantisme dan gaya hidup masyarakat
telah tergantikan oleh pemenuhan akan kebutuhan hiburan sesuai zamannya.
Sehingga ciri mistik pada setiap pertunjukan kesenian sintren tidak lagi
menjadi acuan baku yang harus ditaati. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
pergeseran pemaknaan terhadap pertunjukan kesenian sintren menjadi pemenuhan
selera masyarakat akan sebuah hiburan yang populer merupakan salah satu proses
terjadinya dekonstruksi makna simbolik kesenian sintren.
Kematian metafisika kesenian
sintren merupakan
penyebab terjadinya dekonstruksi
makna simbolik kesenian
sintren yang
telah dijelaskan
dengan uraian jejak dan proses dekonstruksinya mendatangkan implikasi
terhadap kehidupan sosial ekonomi dan budaya pada masyarakat pelaku kesenian sintren dan masyarakat Pemalang.
Implikasai tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, kehadiran sintren dapat menjadi salah satu
solusi di tengah kekeringan berusaha bangkit saat ekonomi kurang memihak rakyat
kecil, dengan tidak merugikan pihak lain. Karena dibalik kesederhanaan,
keikhlasan, ke-polosan, seorang gadis penari sintren mampu merubah kesunyian menjadi
keramaian penuh optimis penduduk suatu desa. Kedua, dengan pementasan kesenian
sintren telah memberikan peluang orang berusaha di bidang niaga meskipun baru
pada skala kecil seperti berjualan krupuk sambal, tahu aci, mainan anak-anak,
pecel, serundeng lumping kerbau dan lain-lain. Hal ini terjadi karena setiap
pementansan kesenian sintren akan selalu diikuti dengan hadirnya banyak
pedagang sebagaimana yang terdapat pada pasar malam atau pasar tiban..
Smiers (2009 mengungkap-kan bahwa orang cenderung
menghargai gagasan bahwa seni menyajikan masa-masa terbaik dalam hidup manusia
pada momen-momen harmonis, menye-nangkan, menghibur, ataupun momen-momen yang
menawarkan kesempatan unik untuk melakukan refleksi. Pada titik ini seni
dipandang dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya,
karena melegakan, menghibur, dan men-dukung aktivitas keseharian, me-legitimasi
acara, dan membuat romantis kehidupan masyarakat.
Intensitas yang tinggi bagaimana pertunjukan sintren
dilaksanakan dan seberapa luas jangkauan wilayah pertunjukan yang dilalui dapat
menjadi alternatif pendapatan di tengah
sulitnya keadaan ekonomi untuk bertahan hidup sambil nguri-uri kebudayaan sendiri. Semua
itu dapat dikatakan sebagai bagian dari kecerdasan penduduk desa untuk mencoba
bertahan lewat caranya sendiri.
Dengan demikian Implikasi dekonstruksi makna simbolik kesenian
sintren terhadap tatanan kehidupan sosial paguyuban seni sintren dengan
mengedepankan dekosntruksi Derrida yang mengemukakan konsep reproduk-tif, yaitu
pemikiran yang memandang segala sesuatu realitas sebagai proses penciptaan atau
penciptaan kembali secara terus menerus, tanpa final dapat dibuktikan.
Pada konteks inilah pemikir-an tentang modifikasi pementasan sintren
menjadi sesuatu yang tidak mustahil. Para pakar seni tradisional menjadi pihak
yang paling kompeten untuk pekerjaan ini. Modifikasi yang dilakukan tentu harus
dihindari dari wilayah esensial dalam pertunjukan sintren, melainkan hanya pada
bagian pola pertunjukan untuk memberikan sentuhan baru format pertunjukan sintren
yang lebih segar dan variatif, sekaligus memberikan citra baru pada kesenian sintren
itu sendiri. Karena perubahan
kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan keniscyaan dan tidak dapat
dielakkan. Masyarakat tidak pernah statis, selalu dinamis berubah dari satu
keadaan ke keadaan lainnya yang disebabkan oleh berbagai faktor. Perubahan ini
dimaksudkan sebagai wujud tanggapan manusia terhadap tantangan lingkungannya. Di
tengah derasnya tekanan modernitas dan globalisasi, produk budaya sebagai budaya adiluhung kreasi anak bangsa
dipertahankan eksistensi dan keberlangsungannya, salah satunya adalah kesenian
daerah “sintren” yang berkembang di Kabupaten
Pemalang.
Dengan demikian dekons-truksi makna simbolik kesenian sintren
telah memberikan dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi dan budaya pada
masyarakat pegiat kesenian sintren khususnya, dan masyrakat Kabupaten Pemalang
umumnya. Melalui dekonstruksi makna simbolik pertunjukan kesenian sintren tidak
lagi harus mengacu secara baku kepada pertunjukan kesenian sintren yang
tercitrakan selalu berbau mistik dan
magis tetapi mampu keluar dari sekat tersebut sebagai suatu keniscayaan bahwa
kesenian sintren. akan mendapat tanggapan positif dari kelompok yang selama ini
menunjukan sikap tidak setuju terhadap eksitensi kesenian sintren.
KESIMPULAN DAN
SARAN
Kesimpulan
Dekonstruksi
Derrida merupakan cara membaca ulang atas sebuah teks (objek) termasuk teks
budaya (objek budaya) yaitu pemaknaan lain yang mungkin berbeda sama sekali
dengan makna yang telah ada sebelumnya. Dalam konteks ini kesenian sintren menjadi sebuah objek yang
harus dibaca ulang sesuai dengan kebenaran realitas ruang dan waktu si pembaca.
Karena dalam gagassan Derrida, realitas dipandang sebagai realitas ciptaan
(produksi, konstruksi) atau diciptakan kembali (reproduksi, rekonstruk-si).
Realitas adalah suatu konstruksi kenyataan baru sebagai hasil dari konstruksi
kenyataan sebelumnya yang didekonstruksi.
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan dapat
dikemukakan tiga simpulan. Pertama, dekonstruksi yang terjadi atas makna
simbolik Kesenian sintren merupakan kejadian yang disebab-kan oleh kematian
metafisika kesenian sintren yang merupakan akumulasi dari adanya penolakan
dan/atau pengingkaran metafisika itu sendiri. Kedua, jejak-jejak dekonstruksi
makna simbolik kesenian sintren yang terjadi adalah proses dekonstruksi makna simbolik, yaitu (1) dekonstruksi makna
simbolik “bentuk pertunjukan kesenian sintren”; (2) dekonstruksi makna simbolik
unsur mistis dan magis. Ketiga, dekonstruksi
makna simbolik kesenian sintren memiliki implikasi terhadap kehidupan sosial
ekonomi dan budaya, yaitu tetap terjaganya eksistensi kesenian sintren sebagai
media hiburan massa yang mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan
meningkatnya sumber kehidupan ekonomi bagi anggota paguyuban kesenian sintren dan masyarakat di sekitar tempat diadakannya pertunjukan kesenian
sintren tersebut.
Saran
Ada
dua saran dalam penelitian ini. Pertama, secara keilmuan atau teoritis dalam
upaya memecahkan berbagai permasalahan dalam penelitian yang berkaitan dengan
pemaknaan simbol kesenian sintren dalam ranah Kajian Budaya, objek pemaknaan
tidak cukup hanya dimaknai secara tekstual sebagai objek seni melainkan harus
dimaknai secara kontekstual, artinya harus sesuai dengan semangat zamannnya.
Sehingga teori Dekonstruksi Derrida merupakan alat analisis yang layak
digunakan dan dikembangkan untuk penelitian-penelitian sejenis.
Kedua,
dalam menjaga tetap hidup dan berkembangnya kesenian sintren sebagai warisan
budaya diperlukan adanya sinergisitas antara pelaku seni, pakar seni dan
Pemerintah Daerah dalam menggairahkan suasana berkesenian di daerah secara
multi dimensional, agar sintren tidak sekedar menjadi obyek penderita tapi
menjadi subyek bahagia. Masyarakat pegiat kesenian sintren sudah saatnya
memikirkan untuk bekerja sama, membentuk kolaborasi dengan pihak-pihak lain,
misalnya dengan pementasan wayang kulit atau kesenian campursari bahkan mungkin
dengaan organ tunggal.
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris. Cultural Studies. Teori
dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Endraswara,Suwardi. 2006. Mistik
Kejawen Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spritial Jawa.
Yogyakarta: Narasi.
Grenz, Stanley. J.
2001. A Primer On Postmomobernism.
Peng-antar untuk Memahami Postmodernisme. Terj. Wilson Suwanto.
Yogyakarta:Yayasan Andi.
Hadisastro,
Sugito. 1998. Sintren Batang, kesenian Pinggiran yang Terpinggirkan. MakJuara
Pertama Lomba Karya Ilmiah Tingkat Nasional tahun 1998. Tidak dipublikasikan.lah
Herusatoto, Budiono.
2000. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
______. 2008. Banyumas: sejarah, budaya, bahasa, dan watak. Yogyakarta:LKiS Pelangi Aksara.
Jaini. 2007.
Komunikasi Seni Pertunjukan. Bandung: Etnoteater Publisher.
Lubis, Akhyar
Yusuf. 2004. Setelah Kebenaran
dan kepastian dihancurkan. Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi ilmuwan. Bogor: Akademia.
Piliang,
Yasraf Amir. 2003. Hipersemoitika Tafsir
Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Ratna,
Kutha. 2007. Estetika Sastra dan
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Smiers, Joost.
2009. Arts Under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era
Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press.
Susanto, Budi (ed). 2004. Penghibur (an) budaya masa lalu dan masa kini Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
UNS. Program Pascasarjana. 2011. Panduan
Penulisan Tesis. Surakarta : UNS.
Pitana, T.S. 2010. Dekonstruksi Makna Simbolik
Arsitektur Keraton Surakarta. Disertasi. Program Pasca Sarjana Universitas
Udayana.
Langganan:
Postingan (Atom)